Thursday, November 27, 2014

Di Kelas Itu, Aku Jatuh Cinta

Ketika mentari masih terbuai mimpi, aku terbangun, membuka mata, melirik jam berbentuk rumah kayu yang ku letakkan di atas rak buku.
“Jam empat pagi, gumamku.” Aku bangun dan melakukan beberapa aktivitas yang sudah menjadi rutinitasku setiap pagi.
 Dred.. dred..
Handphone-ku bergetar. Aku menghentikan hafalanku, mengambil HP yang ku letakkan di meja belajar.
Sebuah pesan dari Pak Al, rekan kerjaku di sekolah.
“Seperti seorang anak yang ditinggal pergi orang tuanya, mungkin itulah yang mereka rasakan. Bengong bukan berarti tidak mau mengaji, tetapi mungkin mereka merasa ada yang berbeda dari apa yang mereka dapat, apa yang mereka rasakan di setiap pagi hari. Tutur kata Anda, nasehat Anda, bahkan kasih sayang yang Anda berikan kini tak lagi menghiasi pagi mereka. Mereka sangat kehilangan Anda. Berbagai sanjungan dan pujian untuk Anda terucap dari mulut kecil mereka. Mungkin itu adalah ungkapan dari perasaan mereka. Anda luar biasa, dalam waktu yang singkat ini anda begitu banyak dan tulus memberikan kasih sayang pada mereka, sehingga seakan-akan mereka tidak mau makan dari suapan orang lain kecuali dari tangan Anda. Sebelum mengajar anak-anak baru Anda, tolong anak-anak Anda di sapa dan di beri nasehat agar mereka bisa menerima seperti mereka menerima Anda.“
Clak…
Setetas air mata jatuh membasahi layar HP.
“Ya Allah, sebesar itukah rasa sayang mereka kepadaku?” Tanyaku dalam hati.
Mungkin kata-kata Pak Anies Baswedan di roadshow IM kemarin sangat tepat “Mereka berat melepaskan Anda, karena Anda datang dengan hati, Anda datang dengan kasih sayang.” Mengingat kalimat itu mataku semakin berkaca-kaca.
**
Aku mengajar Iqra’ dan Al-Qur’an di sebuah sekolah dasar berbasis Islam. Ini hanya program untuk kelas satu. Sekolah ini menargetkan kelas satu sudah bisa membaca Al-Qur’an. Demi intensifnya pembelajaran, setiap kelas mempunyai lima sampai enam guru ngaji, sehingga satu guru memegang enam sampai tujuh anak. Aku di tempatkan di kelas B selama empat bulan. Kini, tepatnya dua hari yang lalu, Aku pindah di kelas C memfokuskan diri mengajari anak-anak yang belum Al-Qur’an. Hanya Pak Al yang kini mengajari anak-anak di kelas B. Anak-anak kelas B yang Aku bimbing terlihat tak bersemangat mengaji, mungkin benar apa yang di katakan pak Al di sms ini. Mereka seperti anak  yang kehilangan orang tuanya. Merasa seperti ada yang hilang, atau mungkin belum terbiasa dengan pembelajaran dua hari terakhir ini.
**
Empat bulan berlalu begitu cepat. Hubungan antara Aku dan anak-anak terasa semakin dekat. Tak hanya mengaji, terkadang Aku membuat sebuah game yang berhubungan dengan mengaji yang membuat mereka bersemangat dan merasa senang. Tak hanya itu, hafalan surat-surat pendek, do’a-do’a sehari-hari, dongeng, cerita kisah Nabi, cerita keseharian mereka, cerita untuk memotivasi membaca Al-Qur’an, sampai menyanyikan asma’ul husna, kami lakukan setiap pagi  dengan penuh semangat. itulah yang membuat kami semakin dekat.
Terkadang, pertanyaan mereka yang polos sering membuatku tersenyum bangga. Masih terekam jelas dalam ingatan ketika Aura bertanya “Ibu, kenapa Al-Qur’an tidak boleh diletakkan di bawah?” Elin menjawab, “Soalnya Al-Qur’annya takut sakit. Kalau Al-Qur’an di simpan di lantai, nanti Al-Qur’annya flu. Nanti Al-Qur’annya gak mau deket-deket lagi sama kamu.. iihh.. iya kan bu?” jawab Elin dengan melirik ke arahku. Dengan tersenyum bangga, aku menjawab dengan bahasa yang mereka fahami. Mereka sangat kritis dan menggemaskan. Pertanyaan lain “ibu, kenapa ini di sebut huruf ‘dha’?” dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan kritis lain yang mereka lontarkan setiap harinya.
Bukan hanya itu, mereka juga sangat jujur dalam berbicara. Banyak pelajaran yang aku dapatkan dari perkataan-perkataan mereka, mulai dari pesan Indah kepada teman-temannnya “membaca Al-Qur’an itu harus serius, biar pinter” sampai tentang kejujuran dan larangan berbohong yang di ucapkan oleh Ammara “orang jujur itu nanti dapat pahala looh, jadi jangan bohong..”
Satu pernyataan yang membuatku terharu adalah ketika Kayla berkata, “Ibu, kata Safina, Ibu sudah seperti Mamanya sendiri.” Safina tersenyum malu-malu. “So Sweet..” ucapku dalam hati. Terharu banget rasanya. Aku tersenyum seraya membelai kerudung mereka berdua.
Setiap hari, senyum selalu tersungging dari bibir-bibir kecil mereka. Sepertinya Aku sudah jatuh cinta pada mereka, mereka sering sekali bertengkar, tapi dalam hitungan detik mereka sudah tertawa, dan bermain bersama lagi. Benar-benar menggemaskan.
Sekarang Aku yakin, Aku semakin jatuh cinta pada mereka, pun dengan mereka. Jika libur  sekolah, terkadang mereka menelepon atau sms menanyakan sedang apa kemudian bercerita, meski lewat telepon rumah atau HP Mama-nya. Tak hanya itu, mereka memintaku main ke rumah-rumah mereka dan menginap di sana. Rasanya bibit pohon cinta ini semakin hari-semakin tumbuh subur, karena terus di semai kasih sayang dan kedekatan seperti ini di setiap harinya.
Seperti halnya seorang bayi yang dapat merasakan perasaan orang-orang di sekelilingnya. Jika orang di sekelilingnya menyukainya, bayi akan bisa merasakan hal itu. Begitu juga dengan anak-anak yang Aku bimbing. Mereka seperti mengetahui bahwa Aku sangat menyayangi mereka, sehingga tanpa di ucapkanpun mereka membalasnya dengan rasa sayang itu pula. Aku belajar dari sini, bahwa rasa sayang itu tak hanya di ucapkan, tapi dengan melakukan sesuatu-pun sudah menjadi bukti tanda sayang kita pada orang yang kita sayangi.
Semakin hari mereka semakin lancar membaca Al-Qur'an. Teringat ketika pertama kali mengajari mereka. Mereka belajar dari iqra', dari mulai mengenal huruf, panjang-pendek, membaca tasydid, lafadz Illah, sampai mereka sudah lancar membaca Al-Qur'an seperti sekarang. Sungguh suatu kebahagiaan bagi seorang guru, siapapun itu, ketika mereka berhasil mendidik anak-anak didiknya sampai bisa.
Terkadang malu rasanya kalau melihat semangat anak-anak. Ketika Aku sampai di kelas pukul 05.55, mereka telah lebih dahulu tiba, menanti guru ngaji mereka, seolah saling berlomba siapa yang paling dahulu mendapatkan ilmu di pagi hari. Mereka bangun subuh, melawan rasa ngantuk mereka, berangkat pukul 05.30, sarapan, mengerjakan tugas-tugas, membawa banyak buku, dan setelah pulang sekolah mereka mengikuti les berbagai mata pelajaran. Walaupun mereka baru kelas satu SD, terlihat sekali semangat belajar mereka sangat tinggi. semangat itu seperti sejuta voltase listrik yang menyetrum hatiku untuk ikut bersemangat seperti mereka.
jika mengingat itu semua, setiap hari tak ada rasa malas sedikitpun untuk pergi mengajar, sekalipun pukul 05.45 harus sudah siap, semangat itu akan selalu hadir, demi mereka, demi bertemu dengan wajah-wajah imut mereka, dan demi mendengarkan mereka membaca Al-Qur'an. :')
# "I Learn More Than Teach" (Anies Baswedan) ^^

Oleh : Afnan Zakia

0 comments:

Post a Comment

About us

Powered by Blogger.

Popular Posts

 

Subscribe to our Newsletter

Contact our Support

Email us: setetes.embun810@gmail.com

Our Team Members