Ketika mentari masih terbuai mimpi, aku terbangun, membuka
mata, melirik jam berbentuk rumah kayu yang ku letakkan di atas rak buku.
“Jam empat pagi, gumamku.” Aku bangun dan melakukan beberapa
aktivitas yang sudah menjadi rutinitasku setiap pagi.
Dred.. dred..
Handphone-ku bergetar. Aku menghentikan hafalanku, mengambil HP yang ku letakkan di meja belajar.
Sebuah pesan dari Pak Al, rekan kerjaku di sekolah.
“Seperti seorang anak yang ditinggal pergi orang
tuanya, mungkin itulah yang mereka rasakan. Bengong bukan berarti tidak mau
mengaji, tetapi mungkin mereka merasa ada yang berbeda dari apa yang mereka
dapat, apa yang mereka rasakan di setiap pagi hari. Tutur kata Anda, nasehat Anda,
bahkan kasih sayang yang Anda berikan kini tak lagi menghiasi pagi mereka. Mereka
sangat kehilangan Anda. Berbagai sanjungan dan pujian untuk Anda terucap dari
mulut kecil mereka. Mungkin itu adalah ungkapan dari perasaan mereka. Anda luar
biasa, dalam waktu yang singkat ini anda begitu banyak dan tulus memberikan
kasih sayang pada mereka, sehingga seakan-akan mereka tidak mau makan dari
suapan orang lain kecuali dari tangan Anda. Sebelum mengajar anak-anak baru Anda,
tolong anak-anak Anda di sapa dan di beri nasehat agar mereka bisa menerima
seperti mereka menerima Anda.“
Clak…
Setetas air mata jatuh membasahi layar HP.
“Ya Allah, sebesar itukah rasa sayang mereka kepadaku?”
Tanyaku dalam hati.
Mungkin kata-kata Pak Anies Baswedan di roadshow IM
kemarin sangat tepat “Mereka berat melepaskan Anda, karena Anda datang dengan
hati, Anda datang dengan kasih sayang.” Mengingat kalimat itu mataku semakin
berkaca-kaca.
**
Aku mengajar Iqra’ dan Al-Qur’an di sebuah sekolah
dasar berbasis Islam. Ini hanya program untuk kelas satu. Sekolah ini
menargetkan kelas satu sudah bisa membaca Al-Qur’an. Demi intensifnya
pembelajaran, setiap kelas mempunyai lima sampai enam guru ngaji, sehingga satu
guru memegang enam sampai tujuh anak. Aku di tempatkan di kelas B selama empat
bulan. Kini, tepatnya dua hari yang lalu, Aku pindah di kelas C memfokuskan
diri mengajari anak-anak yang belum Al-Qur’an. Hanya Pak Al yang kini mengajari
anak-anak di kelas B. Anak-anak kelas B yang Aku bimbing terlihat tak bersemangat
mengaji, mungkin benar apa yang di katakan pak Al di sms ini. Mereka seperti
anak yang kehilangan orang tuanya. Merasa
seperti ada yang hilang, atau mungkin belum terbiasa dengan pembelajaran dua
hari terakhir ini.
**
Empat bulan berlalu begitu cepat. Hubungan antara
Aku dan anak-anak terasa semakin dekat. Tak hanya mengaji, terkadang Aku
membuat sebuah game yang berhubungan dengan mengaji yang membuat mereka bersemangat
dan merasa senang. Tak hanya itu, hafalan surat-surat pendek, do’a-do’a
sehari-hari, dongeng, cerita kisah Nabi, cerita keseharian mereka, cerita untuk
memotivasi membaca Al-Qur’an, sampai menyanyikan asma’ul husna, kami lakukan
setiap pagi dengan penuh semangat. itulah
yang membuat kami semakin dekat.
Terkadang, pertanyaan mereka yang polos sering membuatku
tersenyum bangga. Masih terekam jelas dalam ingatan ketika Aura bertanya “Ibu,
kenapa Al-Qur’an tidak boleh diletakkan di bawah?” Elin menjawab, “Soalnya
Al-Qur’annya takut sakit. Kalau Al-Qur’an di simpan di lantai, nanti Al-Qur’annya
flu. Nanti Al-Qur’annya gak mau deket-deket lagi sama kamu.. iihh.. iya kan bu?”
jawab Elin dengan melirik ke arahku. Dengan tersenyum bangga, aku menjawab
dengan bahasa yang mereka fahami. Mereka sangat kritis dan menggemaskan. Pertanyaan
lain “ibu, kenapa ini di sebut huruf ‘dha’?” dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan
kritis lain yang mereka lontarkan setiap harinya.
Bukan hanya itu, mereka juga sangat jujur dalam
berbicara. Banyak pelajaran yang aku dapatkan dari perkataan-perkataan mereka,
mulai dari pesan Indah kepada teman-temannnya “membaca Al-Qur’an itu harus
serius, biar pinter” sampai tentang kejujuran dan larangan berbohong yang di
ucapkan oleh Ammara “orang jujur itu nanti dapat pahala looh, jadi jangan
bohong..”
Satu pernyataan yang membuatku terharu adalah ketika
Kayla berkata, “Ibu, kata Safina, Ibu sudah seperti Mamanya sendiri.” Safina tersenyum
malu-malu. “So Sweet..” ucapku dalam hati. Terharu banget rasanya. Aku tersenyum
seraya membelai kerudung mereka berdua.
Setiap hari, senyum selalu tersungging dari
bibir-bibir kecil mereka. Sepertinya Aku sudah jatuh cinta pada mereka, mereka
sering sekali bertengkar, tapi dalam hitungan detik mereka sudah tertawa, dan bermain
bersama lagi. Benar-benar menggemaskan.
Sekarang Aku yakin, Aku semakin jatuh cinta pada
mereka, pun dengan mereka. Jika libur sekolah, terkadang mereka menelepon atau sms
menanyakan sedang apa kemudian bercerita, meski lewat telepon rumah atau HP Mama-nya. Tak hanya itu, mereka
memintaku main ke rumah-rumah mereka dan menginap di sana. Rasanya bibit pohon
cinta ini semakin hari-semakin tumbuh subur, karena terus di semai kasih sayang
dan kedekatan seperti ini di setiap harinya.
Seperti halnya seorang bayi yang dapat merasakan
perasaan orang-orang di sekelilingnya. Jika orang di sekelilingnya menyukainya,
bayi akan bisa merasakan hal itu. Begitu juga dengan anak-anak yang Aku bimbing.
Mereka seperti mengetahui bahwa Aku sangat menyayangi mereka, sehingga tanpa di
ucapkanpun mereka membalasnya dengan rasa sayang itu pula. Aku belajar dari
sini, bahwa rasa sayang itu tak hanya di ucapkan, tapi dengan melakukan
sesuatu-pun sudah menjadi bukti tanda sayang kita pada orang yang kita sayangi.
Semakin hari mereka semakin lancar membaca
Al-Qur'an. Teringat ketika pertama kali mengajari mereka. Mereka belajar dari
iqra', dari mulai mengenal huruf, panjang-pendek, membaca tasydid, lafadz
Illah, sampai mereka sudah lancar membaca Al-Qur'an seperti sekarang. Sungguh
suatu kebahagiaan bagi seorang guru, siapapun itu, ketika mereka berhasil
mendidik anak-anak didiknya sampai bisa.
Terkadang malu rasanya kalau melihat semangat
anak-anak. Ketika Aku sampai di kelas pukul 05.55, mereka telah lebih dahulu
tiba, menanti guru ngaji mereka, seolah saling berlomba siapa yang paling
dahulu mendapatkan ilmu di pagi hari. Mereka bangun subuh, melawan rasa ngantuk
mereka, berangkat pukul 05.30, sarapan, mengerjakan tugas-tugas, membawa banyak
buku, dan setelah pulang sekolah mereka mengikuti les berbagai mata pelajaran. Walaupun
mereka baru kelas satu SD, terlihat sekali semangat belajar mereka sangat
tinggi. semangat itu seperti sejuta voltase listrik yang menyetrum hatiku untuk
ikut bersemangat seperti mereka.
jika mengingat itu semua, setiap hari tak ada rasa
malas sedikitpun untuk pergi mengajar, sekalipun pukul 05.45 harus sudah siap,
semangat itu akan selalu hadir, demi mereka, demi bertemu dengan wajah-wajah
imut mereka, dan demi mendengarkan mereka membaca Al-Qur'an. :')
# "I Learn More Than Teach" (Anies
Baswedan) ^^Oleh : Afnan Zakia
0 comments:
Post a Comment