Thursday, November 27, 2014

Mengejar Sunset

Kejutan. Sore itu aku terkejut ketika Ayas tiba-tiba mengajakku ke pantai, menatap sunset.
“Sekarang?” tanyaku terkejut.
“Iya. Siap-siap ya..” jawabnya singkat.
Aku menghela nafas. Kemudian bersiap-siap.
Dua puluh menit kemudian dia datang bersama Aci, teman kami. Setelah dari kostku, kami pergi ke asrama Faris untuk menjemputnya. Kami pergi ke pantai ber-empat. Aku semotor bersama Aci, dan nantinya Ayas semotor bersama Faris. Kami membutuhkan waktu empat menit untuk menuju asrama Faris, dan membutuhkan waktu tiga menit untuk menunggu Faris siap.
Langit semakin mendung. Aku sedikit ragu untuk melanjutkan perjalanan. Namun langit di daerah pantai terlihat begitu cerah sehingga keraguan itu menguap. Ayas dengan semangat memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan. Mengejar sunset.

Pukul 16.12, kami berangkat menuju pantai. Lihatlah, langit biru dengan gumpalan awan putih bak kapas terlihat indah. Aku mengucap syukur karena di perjalanan menuju pantai tidak mendung seperti di pusat kota. Aci meng-iyakan, kembali mengucap syukur. Kami mulai meninggalkan pusat kota. Pemandangan bangunan-bangunan kota mulai tergantikan dengan bukit-bukit yang berjejer rapi. Sawah yang terhampar sejauh mata memandang. Dan sungai  yang melintang di sebelah kanan jalan. Pemandangan alam yang menyejukkan mata. persis seperti di daerah asal kami.
“A! itu Rentang..” Aci setengah berteriak pada Faris dan Ayas. Memberi tahu ketika kami melewati sebuah bendungan sungai. Rentang adalah nama bendungan yang cukup terkenal di tempat kami. Kami berempat tertawa.
Satu jam kemudian kami sampai di tempat tujuan. Pantai.
Pantai kota sore itu begitu ramai oleh pengunjung. Ada satu-dua pasangan kekasih yang berjalan-jalan di atas pasir lembut yang bak eskrim saat di injak. Terpesona menatap ombak bergulung, menjilat-jilat kaki. Asyik sekali membenamkan kaki mereka di hamparan pasir.
Tempat yang indah. Pantai di penuhi turis. Ada yang sibuk bermain ombak. Menunggang kuda. Naik delman. Sibuk berfoto seperti kami. Atau sekedar berlarian saling menyiram air laut satu sama lain.
Kami berjalan di sepanjang pantai. Menikmati matahari senja. Mendengar debur ombak menerpa pantai. Menatap paralayang yang beterbangan dari atas bukit. Kemudian mendarat di pantai. Terlihat menyenangkan. Kami tertarik untuk bertanya seputar paralayang kepada petugas yang berjaga. Berharap bisa bermain seperti mereka yang sedang mengudara di atas pantai. Sayang, paralayang hanya untuk siswa-siswa yang sedang berlatih.
Kami kembali berjalan, menyusuri pasir pantai. Matahari perlahan tumbang di langit cakrawala. Awan putih-jingga mewarnai langit senja. Background yang bagus untuk berfoto.
“Awas ada air!” Faris berteriak setengah tertawa. Senang. Kami yang hendak berfoto menoleh ke arah ombak. Dalam hitungan detik rok dan celana kami basah. Sempurna tanpa bisa menghindar.
Setelah puas foto-foto, kami kembali berjalan di atas pasir halus. Aku berlari-lari kecil di hamparan pasir. Tanpa sepatu. Ayas dan Aci membuka sandalnya. Hanya Faris yang tetap memakai sandalnya untuk berjalan di pasir pantai selembut itu.
Aku takut-takut menyentuh buih ombak yang menjilat-jilat bibir pantai. Namun, setelah berhasil menyentuhnya, aku tertawa senang. Ternyata menyenangkan. Aku bermain bersama ombak. Berlari menghindar ketika ombak mendekat, dan mengejar ombak ketika ombak kembali surut. Terkadang aku membiarkan gulungan ombak kecil menjilat-jilat kaus kaki. Sensasinya menyenangkan, seperti menginjak eskrim.
Aci berjalan di sampingku. Membiarkan ombak-ombak kecil menyentuh kakinya. Ayas berjalan di depan kami. Keinginannya untuk menikmati sunset di pantai ini terkabul sudah. Di depannya lagi ada Faris yang terus mengamati lingkungan pantai.
“Foto-foto lagi yuk?” Ajak Aci. Dengan antusias kami kembali mengabadikan moment-moment itu di kamera.
Angin laut menerpa seluruh tubuh. Sejuk. Faris mengajak kami menikmati jagung bakar sambil menunggu sunset yang akan tenggelam beberapa menit lagi. Kami sepakat.
Disini matahari senja terasa menyenangkan!
Kami berjalan ke arah penjual jagung bakar. Faris paling depan. Di ikuti oleh Ayas, Aci dan aku. Jejak kaki kami tercetak di pasir basah nan lembut. Bayangan tubuh kami bergerak, bak berjalan di atas pasir kaca.
Sore yang hebat. Penuh kesenangan dan kebersamaan..
“Heii.. sini!” Faris yang berjalan paling depan memanggil kami yang berjarak cukup jauh. Faris berhenti di tempat penjual jagung bakar dan memesan empat jagung. Kami segera mendekati. Duduk di atas tikar yang menghadap ke laut.
“Sebentar lagi sunset..” ucapku antusias.
Ayas yang bersemangat mengajak kami kesini merasa senang.
“Rasa apa Mas, Mbak?” ibu penjual jagung bakar bertanya.
“Pedas manis semua, bu..” Ayas menjawab cepat.
“Nggak bu. Pedas manis tiga. Yang manis aja satu” Aku yang tidak begitu menyukai pedas segera meralat ucapan Ayas.
“Semua aja bu, pedas manis!” Ayas kembali menyahut. Ibu penjual jagung bakar kebingungan.
“Ayas!” Aku memasang wajah kesal. Ayas tertawa. Puas. “Yang tidak pakai pedas satu bu..” aku menoleh ke arah ibu penjual. Beliau tersenyum. Mengangguk.
Matahari perlahan meluncur di kaki cakrawala. Langit biru meski redup terlihat memesona. Membuat sunset terlihat begitu menggetarkan hati.
“Ini Mas, Mbak, jagungnya. Yang ini pedas manis. Yang ini yang manis saja.” Ibu itu menjelaskan. Kami memakan jagung. Sekali-dua kami bercanda. Sunset mulai tenggelam. Aci kembali mengabadikan moment itu dengan kameranya.
Indah. Sungguh indah. Aku menghela napas.
Empat puluh tujuh detik berlalu. Matahari sempurna tenggelam. Menyisakan siluet jingga, langit kemerah-merahan. Sunset yang hebat. Kami kembali menikmati jagung bakar yang belum di habiskan. Setelah itu beranjak meninggalkan pantai. Menuju mushala. ^_^


Parangtritis Beach, February, 08 2014. :)
Oleh : Afnan Zakia

0 comments:

Post a Comment

About us

Powered by Blogger.

Popular Posts

 

Subscribe to our Newsletter

Contact our Support

Email us: setetes.embun810@gmail.com

Our Team Members